Monday, March 8, 2010

Abdus Salam

Nobel Fisikanya Membuka Mata Dunia

Ia besar dalam dua kehidupan yang berbeda dan bertolak belakang. Di Satu sisi, dia menjadi manusia yang sangat taat pada agama dan menemukan pembenaran di dalam Alquran yang senantiasa mengilhami dasar pikiran karya keilmiahanya. Pada sis lain, ia adalah seorang politisi yang menjunjung tinggi asas kemuliaan serta sama sekali tak merendahkan politisi yang mempraktekkan real politic untuk memperoleh kekuasaan.

Dialah Prof Abdus Salam, ia dilahirkan di Jhang, sebuah kota kecil di Pakistan, pada 29 Januari tahun 1926. Ayahnya ialah pegawai dalam Dinas Pendidikan dalam daerah pertanian. Kelurga Abdus Salam mempunyai tradisi pembelajaran dan alim. Nama besarnya ikut mengangkat derajat dunia Islam. Pria yang arif menjalani kehidupan itu pernah meraih penghargaan Nobel bidang fisika pada 1979 bersama dengan Sheldon Lee Glashow dan Steven Weinberg.

Salam menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di dalam negeri. Pendidikan tingginya (master dan doctor) ia selesaikan di Inggris. Bahkan, gelar doctor of Phylosophy (PhD) dalam bidang fisika teori diperolehnya dari laboratorium Cavendish, Universitas Cambridge, Inggris dalam usia 26 tahun.

Prestasi-prestasi besar yang dicapinya dalam disiplin ilmu fisika membuatnya banyak menenrima penghargaan dari berbagai kalangan. Antara tahun 1957 dan 1982 M saja, lebih dari 18 universitas dari berbagai negara maju dan berkembang silih berganti menganugrahinya gelar doctor of science honoris causa atas jasa-jasanya dalam dunia ilmu pengetahuan. Karya-karya ilmiahnya yang telah diterbitkan lebih dari 200 judul. Di samping menerima anugerah nobel, ia juga mendapatkan penghargaan dan keanggotaan terhormat masyarakat akademis.

Salam merintis pendirian International Centre for Theoretical Physic (ICTP), di Trieste, Italia sejak 1964 dan menjadi directur ICTP (1864-1990) yang didanai oleh pemerintah Italia (50%), PBB (Unesco-IAEA), dan SIDA (Swedish Agency for International Development). Fasilitas di Triete pertama kali disediakan sepenuhnya oleh pemerintah Italia. Sikap ini seakan-akan membayar kembali sumbangan pemikiran muslim yang merasuki Italia sejak jatuhnya kota Constatinopel pada 1953 dari Kekaisaran Romawi Timur, yang melahirkan Zaman Renaissance di Eropa.

Sang jenius kaliber internasional ini, dalam upayanya mengungkap sesuatu dan menelorkan pemikiranya serta penelitianya, selalu mendasarkan pada konsep-konsep Islam, terutama tentang kosmos. Salam menganut sistem integrasi ilmu (agama dan pengetahuan). Karena itu, dia tidak percaya adanya konflik antara sains dengan Islam. Ia menegaskan bahwa dari tahun 750-1100 M hampir seluruh sains adalah sumbangan Islam, yang menurut George Sarton (A History of Science) secara tak putus serta berturut-turut adalah zamanya Jabir, Khawarizmi, Haytham, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Ibn Sina, Omar Khayyam, dan lainnya

Jasa salam tak bisa terlupakan. Ia telah meninggalkan warisan paling berharga (karya intelektual) bagi generasi penerus. . Dan inilan prestasi Islam terbesar di abad 20. Usaha kerasnyapun tidak dapat ia teruskan, ketika stroke menyerang Salam. Sesudah tak sanggup lagi berkomunikasi selama tiga tahun terakhir oleh penyakit melumpuhkan itu, akhirnya ruh meninggalkan jasadnya pada 20 November 1996 di Oxford, Inggris diiringi doa Salam sendiri, jauh dari tanah air yang dicintainya.*(”dikutip dari buku Dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol,Penerbit:Republika”)

0 comments:

Post a Comment

Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template