Monday, March 8, 2010

Abdus Salam

Nobel Fisikanya Membuka Mata Dunia

Ia besar dalam dua kehidupan yang berbeda dan bertolak belakang. Di Satu sisi, dia menjadi manusia yang sangat taat pada agama dan menemukan pembenaran di dalam Alquran yang senantiasa mengilhami dasar pikiran karya keilmiahanya. Pada sis lain, ia adalah seorang politisi yang menjunjung tinggi asas kemuliaan serta sama sekali tak merendahkan politisi yang mempraktekkan real politic untuk memperoleh kekuasaan.

Dialah Prof Abdus Salam, ia dilahirkan di Jhang, sebuah kota kecil di Pakistan, pada 29 Januari tahun 1926. Ayahnya ialah pegawai dalam Dinas Pendidikan dalam daerah pertanian. Kelurga Abdus Salam mempunyai tradisi pembelajaran dan alim. Nama besarnya ikut mengangkat derajat dunia Islam. Pria yang arif menjalani kehidupan itu pernah meraih penghargaan Nobel bidang fisika pada 1979 bersama dengan Sheldon Lee Glashow dan Steven Weinberg.

Salam menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di dalam negeri. Pendidikan tingginya (master dan doctor) ia selesaikan di Inggris. Bahkan, gelar doctor of Phylosophy (PhD) dalam bidang fisika teori diperolehnya dari laboratorium Cavendish, Universitas Cambridge, Inggris dalam usia 26 tahun.

Prestasi-prestasi besar yang dicapinya dalam disiplin ilmu fisika membuatnya banyak menenrima penghargaan dari berbagai kalangan. Antara tahun 1957 dan 1982 M saja, lebih dari 18 universitas dari berbagai negara maju dan berkembang silih berganti menganugrahinya gelar doctor of science honoris causa atas jasa-jasanya dalam dunia ilmu pengetahuan. Karya-karya ilmiahnya yang telah diterbitkan lebih dari 200 judul. Di samping menerima anugerah nobel, ia juga mendapatkan penghargaan dan keanggotaan terhormat masyarakat akademis.

Salam merintis pendirian International Centre for Theoretical Physic (ICTP), di Trieste, Italia sejak 1964 dan menjadi directur ICTP (1864-1990) yang didanai oleh pemerintah Italia (50%), PBB (Unesco-IAEA), dan SIDA (Swedish Agency for International Development). Fasilitas di Triete pertama kali disediakan sepenuhnya oleh pemerintah Italia. Sikap ini seakan-akan membayar kembali sumbangan pemikiran muslim yang merasuki Italia sejak jatuhnya kota Constatinopel pada 1953 dari Kekaisaran Romawi Timur, yang melahirkan Zaman Renaissance di Eropa.

Sang jenius kaliber internasional ini, dalam upayanya mengungkap sesuatu dan menelorkan pemikiranya serta penelitianya, selalu mendasarkan pada konsep-konsep Islam, terutama tentang kosmos. Salam menganut sistem integrasi ilmu (agama dan pengetahuan). Karena itu, dia tidak percaya adanya konflik antara sains dengan Islam. Ia menegaskan bahwa dari tahun 750-1100 M hampir seluruh sains adalah sumbangan Islam, yang menurut George Sarton (A History of Science) secara tak putus serta berturut-turut adalah zamanya Jabir, Khawarizmi, Haytham, Razi, Masudi, Wafa, Biruni, Ibn Sina, Omar Khayyam, dan lainnya

Jasa salam tak bisa terlupakan. Ia telah meninggalkan warisan paling berharga (karya intelektual) bagi generasi penerus. . Dan inilan prestasi Islam terbesar di abad 20. Usaha kerasnyapun tidak dapat ia teruskan, ketika stroke menyerang Salam. Sesudah tak sanggup lagi berkomunikasi selama tiga tahun terakhir oleh penyakit melumpuhkan itu, akhirnya ruh meninggalkan jasadnya pada 20 November 1996 di Oxford, Inggris diiringi doa Salam sendiri, jauh dari tanah air yang dicintainya.*(”dikutip dari buku Dari Penakluk Jerusalem hingga Angka Nol,Penerbit:Republika”)

Ibnu Sina

Bapak Kedokteran

“Kejeniusanya luar biasa. Pemikiranya, terutama di bidang filsafat dan kedokteran, mengilhami karya-karya pemikir di barat, dan ‘membanjiri’ literartur modern. Di kalangan Barat, ia dikenal sebagai Avecienna. Tapi siapa sebenarnya dia?”

Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdullah Ibn Sina (lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Sina) lahir di Afshana, dekat kota Bukhra, Uzbekistan pada tahun 981 M. Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan.

Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.

Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode - metode baru dari perawatan. Di usianya yang ke-17, Sina berhasil menyembuhakan Nuh Ibn mansur, seorang raja di Bukhra. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat - obat yang sesuai." Kemasyuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.

Pada usia 21 tahun, ketika berada di Kawarazm, ia mulai menulis karyanya yang pertama yang berjudul "Al-Majmu" yang mengandungi berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap.Kemudian ia melanjutkan menulis buku-buku lain.Nama-nama buku yang pernah dikarang Ibnu Sina, termasuk yang berbentuk risalah ukuran kecil, dimuat dan di himpun dalam satu buku besar yang berjudul "Essai de Bibliographie Avicenna" yang dihasilkan oleh Pater Dominican di Kairo.Antara yang terkandung dalam buku tersebut termasuklah buku karangan yang amat terkenal iaitu Al-Qanun Fi Al–Tibb.

Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat - bakatnya. Shams al-Ma'äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri idmana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi. Beberapa dari buku panduan Ibnu Sina ditulis untuk orang ini ; dan permulaan dari buku Canon of Medicine juga dikerjakan sewaktu dia tinggal di Hyrcania.

Teori-teori anatomi dan fisiologi dalam buku-buku beliau adalah menggambarkan analogi manusia terhadap negara dan mikrokosmos (dunia kecil) terhadap alam semester sebagai makrokosmos (dunia besar).Misalnya digambarkan bahawa syurga kayangan adalah bulat dan bumi adalah persegi dan dengan demikian kepala itu bulat dan kaki itu empat persegi. Terdapat empat musim dan 12 bulan dalam setahun, dengan itu manusia memiliki empat tangkai dan lengan (anggota badan) mempunyai 12 tulang sendi. Hati (heart) adalah ‘pangeran’-nya tubuh manusia, sementera paru-paru adalah ‘menteri’-nya. Leher merupakan ‘jendela’-nya sang badan, manakala kandung empedu sebagai ‘markas pusat’-nya. Limpa dan perut sebagai ‘bumbung’ sedangkan usus merupakan sistem komunikasi dan sistem pembuangan.
Sementara itu "Canon of Medicine" memuatkan pernyataan yang tegas bahawa " darah mengalir secara terus-menerus dalam suatu lingkaran dan tak pernah berhenti" . Namun ini belum dapat dianggap sebagai suatu penemuan tentang srikulasi darah, kerana bangsa cina tidak membezakan antara urat-urat darah halus (Veins) dengan pembuluh nadi (arferies). Analogi tersebut hanyalah analogi yang digambarkan antara gerakan darah dan siklus alam semesta, pergantian musim dan gerakan-gerakan tubuh tanpa peragaan secara empirik pada keadaan yang sebenarnya.

bnu Sina wafat pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Ia wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah. saat itu dia sedang sakit parah tetapi tetap saja bersikeras utuk mengajar anak-anak, saat dia wafat anak-anak itu merasa beruntung sekali mempunyai kesempatan untuk bertemu ke ibnu sina untuk terakhir kalinya karena saat akan dibawa ke rumah dia sudah kehilangan nyawa dan tidak dapat ditolong.*(”dikutip dar berbagai sumber”)

Al Battani

Penemu Berbagai Teori Matematika

Sejak berabad-abad lamanya, matematika dan astronomi begitu lekat dengan umat Islam. Tak heran bila sejumlah ilmuwan di kedua bidang tersebut bermunculan. Salah seorang di antaranya adalah Abu Abdallah Muhammad Ibn Jabir Ibn Sinan Al-Battani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al-Battani atau Albatenius.

Al Battani lahir di Battan, Harran, Suriah pada sekitar 858 M. Keluarganya merupakan penganut sekte Sabbian yang melakukan ritual penyembahan terhadap bintang. Namun ia tak mengikuti jejak langkah nenek moyangnya, ia lebih memilih memeluk Islam.

Di kalangan pelajar dan mahasiswa pasti tak asing dengan istilah Sinus, Kosinus, Tangen, dan Kotangen. Al Battani dikenal menggunakan prinsip-prinsip trigonometri tersebut saat melakukan observasi astronomi tersebut. Pengertian Sinus dan Kosinus diperkenalkan untuk menggantikan chord atau tali busur yang biasa digunakan dalam perhitungan astronomi dan trigonometri di masa itu. Dalam bahasa Arab istilah Sinus disebut jaib yang berarti teluk atau garis bengkok.

Sedangkan Kotangen dalam bahasa Arab adalah bayangan lurus atau garis istiwa’ (khatulistiwa) dari Gnomon. Gnomon adalah suatu alat semacam papan yang digunakan untuk mengukur cahaya matahari setelah dibagi menjadi dua belas bagian. Menurut Battani, Tangen adalah garis bayang-bayang melintang yang jatuh di permukaan Gnomon. Garis lurus itulah yang dikenal dengan sebutan Kotangen, sedangkan garis melintangnya disebut Tangen. Teori Tangen dan Kotangan inilah yang kemudian menjadi pilar dasar bagi ilmu trigonometri.

Alat Gnomon yang digunakan Al Battani inilah yang mengilhami para ilmuwan untuk menciptakan jam yang kita kenal pada masa kini. Al Battani banyak memperkenalkan terminologi astronomis seperti Azimut, Zenit dan Nadir yang bersumber dari bahasa Arab. Al Battani juga berhasil menemukan letak kesalahan Claudius Ptolemaeus tentang gerak, posisi dan apogee matahari. Perhitungan Ptolemaeus mencatat 17 derajat. Sementara Al Battani mencatat garis bujur apogee matahari telah bertambah 16 derajat 40 menit. Dengan menghitung panjang tahun menjadi 365 hari, 5 jam, 46 menit, dan 24 detik. Ketepatan hitungannya tersebut hanya berselisih 2 menit disbanding waktu yang sebenarnya. Buah pikirnya dalam bidang astronomi inilah yang mendapatkan pengakuan dunia.

Itulah hasil jerih payahnya selama 42 tahun melakukan penelitian yang diawali pada musa mudanya di Raqqa, Suriah. Ia menemukan bahwa garis bujur terajauh matahari mengalami peningkatan sebesar 16,47 derajat sejak perhitungan yang dilakukan oleh Ptolemy. Ini membuahkan penemuan yang penting mengenai gerak lengkung matahari.

Al Battani juga berhasil membuat daftar tabil Sinus, Tangen, dan Kotangen dari 0 derajat sampai 90 derajat secara cermat. Tabel itu dengan tepat ia terapkan dalam operasi-operasi aljabar dan trigonometri untuk segitiga sferis.

Selain itu Al Battani juga menentukan secara akurat kemiringin ekliptik, panjangnya musim, dan orbit matahari. Ia pun bahkan berhasil menemukan orbit bulan dan planet dan menetapkan teori baru untuk menentukan sebuah kondisi kemungkinan terlihatnya bulan baru. Ini terkait dengan pergantian dari sebuah bulan ke bulan lainnya.

Beberapa karya Al Battani yang terkenal meliputi Kitab Ma’rifat Matali al-Buruj fi ma Baina Arba al-Falak; Syarah al-Maqaalat al-Arba li Batlamiyus; Risalah fi Tahqiq Aqdar al-Ittisalat; dan Az-Zij. Buku-buku karya Al Battani ini banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk latin.*(“dikutip dari berbagai sumber”)

Rabiah Al Adawiyah

Pendiri "Agama Cinta"

Rabiah Al Adawiah,mungkin diantara kita masih banyak yang belum mengenalnya. Ia adalah seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya, dan tergolong sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri 'agama cinta' (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai 'ibu para sufi besar' (The Mother of the Grand master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum 'suci' itu?. Rabiah basri atau yang lebih dikenal Rabaiah Al Adawiyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak) dari keluarga yang sangat miskin. Kedua orang tuanya meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah.

Dalam kesendirianya itu, akhirnya Rabiah jatuh ketangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengat harga yang sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya. Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat-tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia disebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup menyendiri, sebuah tikar butut dan sebuah kendil dari tanah adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kesendirianya.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berdzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus 'akhirat', ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci-mistis terkenal Hasan Basri tetapi Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu. Semua bagaikan ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia 'merendahkan manusia' dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum muslim formal.

Ihwal pernikahan, Rabiah punya jawaban yang tidak biasa. "Orang yang menikah itu adalah orang ada dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mau mengawini aku. "

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendalitersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, "Jika aku menyembahMu karena takut pada api neraka maka masukkanlah aku didalamnya! Dan jika aku menyembahMu karena tamak kepada surgaMu, maka haramkanlah aku darinya! Tetapi jika aku menyembahMu karena kecintaanku kepadaMu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajahMu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu."

Rabiah wafat meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai 'makrifat' hidup. Menarik untuk kita simak salah satu doa rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, diatas atap rumahnya: "O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tertidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik-masyuk dengan kesayanganya, dan di sinilah aku sendirian bersama engkau."

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri 'bertemu' dengan penciptanNya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu,menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.*(“dikutip dari berbagai sumbe”r)

Saad bin Abi Waqqas

Salah satu episode penaklukan imperium Persia yang ditulis dengan tinta emas dalam sejarah Islam adalah pertempuran Qadisiyah (Kadessia : dalam terminology Barat). Tokoh yang paling banyak berperan dalam keruntuhan salah satu kekuatan dunia terbesar pada masa itu adalah Saad bin Abi Waqqas.

Siapakah dia?. Saad bin Abi Waqqas adalah Panglima perang Islam pada saat memimpin pasukan Islam melawan melawan tentara Persia di Qadissyah. Peperangan ini merupakan salah satu peperangan terbesar umat Islam.

Ia berasal dari klan Bani Zuhrah dari suku Quraisy, dan paman Nabi Muhammad dari garis pihak ibu. Ia memiliki putera bernama Umar bin Sa’ad, pemimpin dari pasukan yang membunuh Husain bin Ali pada Peristiwa Karbala.
Saad lahir dan besar di kota Mekkah. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan memiliki pemikiran yang cerdas. Sosoknya tidak terlalu tinggi namun bertubuh tegap dengan potongan rambut pendek. Orang-orang selalu membandingkannya dengan singa muda. Ia berasal dari keluarga bangsawan yang kaya raya dan sangat disayangi kedua orangtuanya, terutama ibunya. Meski berasal dari Makkah, ia sangat benci pada agamanya dan cara hidup yang dianut masyarakatnya. Ia membenci praktik penyembahan berhala yang membudaya di Makkah saat itu.

Pertempuran Qadisiyah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab menjadi pemimpin kekhalifahan Islam. Kala itu, komandan pasukan muslim di al-Hira (Irak) meminta bantuan khalifah karena pasukan Persia mendekati wilayah pengamanannya dan menampilkan ancaman yang semakin kuat. Sayangnya, panglima besar kala itu Khalid bin Walid telah berangkat dalam ekspedisi ke Syiria. Khalifah pun memutuskan dirinya sendiri untuk memimpin pasukan bantuan menghadapi Persia. Namun, keinginan itu ditolak para sahabat. Akhirnya, Khalifah tetap di Madinah dan pemimpin pasukan diserahkan ke Saad bin Abi Waqqas dengan strategi yang dirancang khalifah sendiri.

Bersama 20 ribu pasukannya, ia berangkat menuju Qadasiyyah. Di antara mereka terdapat sembilan veteran perang Badar, lebih dari 300 mereka yang ikut serta dalam ikrar Riffwan di Hudaibiyyah, dan 300 di antaranya mereka yang ikut serta dalam memerdekakan Makkah bersama Rasulullah. Lalu ada 700 orang putra para sahabat, dan ribuan wanita yang ikut serta sebagai perawat dan tenaga bantuan.

Pasukan ini berkemah di Qadisiyyah di dekat Hira. Untuk melawan pasukan Muslim, pasukan Persia yang siap tepur berjumlah 12O ribu orang dibawah panglima perang kenamaan mereka, Rustum.

Sebelum memulai peperangan, atas instruksi khalifah Umar bin Khattab, Saad mengirim surat kepada kaisar Persia, Yazdagird dan Rustum, yang isinya undangan untuk masuk Islam. Delegasi Muslim yang pertama berangkat adalah An-Numan bin Muqarrin yang kemudian mendapat penghinaan dan menjadi bahan ejekan Yazdagird.
Untuk mengirim surat kepada Rustum, Sa'ad mengirim delegasi yang dipimpin Rubiy bin Aamir. Kepada Rubiy, Rustum menawarkan segala kemewahan duniawi. Namun ia tidak berpaling dari Islam dan menyatakan bahwa Allah SWT menjanjikan kemewahan lebih baik yaitu surga.

Para delegasi Muslim kembali setelah kedua pemimpin itu menolak tawaran masuk Islam. Melihat hal tersebut, air mata Sa'ad bercucuran karena ia terpaksa harus berperang yang berarti mengorbankan nyawa orang Muslim dan non Muslim.
Setelah itu, untuk beberapa hari ia terbaring sakit karena tidak kuat menanggung kepedihan jika perang harus terjadi. Sa'ad tahu pasti, bahwa peperangan ini akan menjadi peperangan yang sangat keras yang akan menumpahkan darah dan mengorbankan banyak nyawa.

Ketika tengah berpikir, Saad akhirnya tahu bahwa ia tetap harus berjuang. Karena itu, meskipun terbaring sakit, Saad segera bangkit dan menghadapi pasukannya. Di depan pasukan Muslim, Saad mengutip Alquran Surah Al-Anbiya' ayat 105 tentang bumi yang akan dipusakai oleh orang-orang shaleh seperti yang tertulis dalam kitab Zabur.
Setelah itu, Saad berganti pakaian kemudian menunaikan sholat Dzuhur bersama pasukannya. Setelah itu dengan membaca takbir, Saad bersama pasukan Muslim memulai peperangan. Selama empat hari, peperangan berlangsung tanpa henti dan menimbulkan korban dua ribu Muslim dan sepuluh ribu orang Persia. Peperangan Qadisiyyah merupakan salah satu peperangan terbesar dalam sejarah dunia. Pasukan Muslim memenangi peperangan itu.

Sepeninggal Khalifah Umar bin Khattab, Saad tetap memimpin di kufah atas perintah Khalifah Usman. Ia baru mengundurkan diri ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Khalifah Ali dan menghabiskan hari tuanya di kota Akik hingga ajal menjemputnya pada 670 M. Pahlawan besar itu wafat pada usia 70 tahun dan dimakamkan di Madinah. Menjelang wafatnya, Saad berwasiat kepada puteranya agar mengafaninya dengan jubah yang ia gunakan dalam perang. “Kafani aku dengan jubah ini karena aku ingin bertemu Allah SWT dalam pakaian ini”, ujarnya.*(dikutip dari berbagai sumber”)
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template